3.08.2015

Hanya Aku dan Sajakku, Engkau Sekedar boleh tau

Hei KAWAN!


-aku tidak berharap Kawanku disana membaca tulisan ini, hanya saja aku tetiba ingin menuliskan mengenai dirinya.
Kawanku bukan bebanku, tetapi aku takut terjadi permasalahan dengan hubungan perKawanan kami.-


aku senang membuat karya. aku senang karyaku bisa bekerjasama - kolaborasi - dengan Kawan. tapi aku takut karena karya ini, aku dan Kawanku kemudian berjarak dan akhirnya menjadi Asing.
aku tau pasti Kawanku pasti berprasangka : dia merasa engga enak karena dia seperti berhenti kolaborasi tetiba (padahal itu bukan keinginannya, karena dia hanya mendapat perintah), kemudian dia merasa masih bertanggung jawab dengan ku, dengan karya ku, kemudian dia bisa saja merasa terbebani dengan karya ku.
Kawan, seandainya aku bisa berkata banyak - sayang aku hanya pandai menulis bukan berkata -, satu hal yang pasti aku ingin katakan adalah aku benar-benar tidak ingin karena karya ini kamu melarikan diri dariku, bukan karena aku takut aku tidak bisa menyelesaikan karya ini tanpamu, tapi karena aku senang berKawan denganmu.
Kau tau Kawan, si Gembrot bercerita banyak tentang kegelisahanmu. aku tidak gelisah karena itu, tapi aku gelisah karena kritik si Gembrot, seolah-olah aku sudah menjahatimu dan dia merasa tidak enak dengamu. aku sakit hati dengan kata-kata si Gembrot. tapi aku tidak bisa mengatakannya juga Kawan - ya, karena aku hanya pandai memendamnya dan menuliskannya disini.
Kawan, aku sangat berusaha keras karyaku ini Selesai baik denganmu atau tanpamu. aku sangat mengharapkan kau tetap membantuku, meskipun aku pasti berkata aku bisa sendiri. itu semua aku bebaskan kepada pilihanmu Kawan. membantu boleh, tidak juga boleh. satu hal yang pasti, jangan bebankan karya ini kepada perKawanan kita.

aku senang ketika menceritakan mengenai kolaborasi kita kepada orang-orang. aku ingin tetap mengatakan bahwa aku bisa bukan karena aku, tapi karena Kawanku. aku berharap engkau tidak bermasalah dengan hal itu. tetaplah bergiat dengan urusanmu Kawan. aku berjanji aku bisa maju dengan sendirinya, aku bisa mencari orang yang akan membantuku lainnya Kawan. janjiku ini aku harap engkau pegang beserta dirimu yang akan berjanji untuk tetap berKawan denganku.




salam untukmu Kawan
dimanapun dirimu saat ini
^^












1.28.2015

Hanya Aku dan Sajakku, Engkau Sekedar boleh tau

Surat Untuk Ibu(ku)

Kepadamu yang kelak (mungkin tiga hingga lima tahun lagi ) sah sebagai ibuku-juga, meskipun begitu saat ini aku telah memanggilmu ibu.

Wahai ibu, aku tidak berharap surat ini sampai ketanganmu, namun jika akhirnya angin membawa surat ini terdengar olehmu, aku hanya sekedar ingin engkau tau apa yang aku rasakan dan fikirkan mengenai kita.

Aku ingat sedari kecil ayahku sering berkata saat aku akan mengunyah sayap ayam goreng, "Itu ujung sayapnya jangan dimakan,pamali nanti". Awalnya aku menurut,namun jiwa kritisku tak mau diam saja dan akhirnya aku menanyakan jawaban masuk akal atas ulasannya. Ayahku menjawab "Nanti kamu engga disukain mertua", saat itu aku hanya tertawa dan merasa pernyataan yang konyol. Sebagai seorang anak kecil aku hanya berkata bahwa aku tidak akan mau punya mertua-ya meskipun aku sendiri tidak tau apa itu yang disebut mertua.
Ya ibu, dulu aku tertawa dan merasa mungkin benar yang dikatakan ayahku bahwa mertua tidak akan suka jika kamu makan ujung sayap ayam, sekarang aku memang tetap tidak memakan ujung sayap ayam, tapi bukan karena aku takut tidak disukai mertua.
Ibuku juga pernah sekali mengkhawatirkan mengenai istilah mertua itu, katanya suatu hari usai bertemu tetangga, “Kemarin aku bertemu tetangga belakang rumah, dia cerita soal ketidak sukaannya terhadap pacar anaknya, yang kurang inilah, yang engga gitulah, pusing ibu dengernya, semoga aja ya kamu engga punya mertua yang repot dan cerewet”. Saat itu juga aku hanya tertawa, merasa itu hanya kekhawatiran yang konyol. Tapi sejujurnya jika aku ingat ungkapan ibuku itu, aku selalu berharap doanya terkabul- ya, aku sedikit takut jadinya.
Tidak ibu, bukan aku takut padamu, tapi aku masih merasa tidak nyaman dan canggung dengan istilah mertua. Seolah terlalu banyak ke-negatif-an didalamnya. Aku sempat memiliki khayalan, jika kelak aku punya suami, tidak akan ku panggil orangtuanya sebagai mertua, biarlah aku diangkat pula sebagai anaknya.

Tapi ibu, sesungguhnya yang ingin ku bicarakan bukanlah mengenai istilah mertua. aku hanya ingin kau sedikit mengetahui sejengkal kisah hidupku. bukan ingin pamer, tapi aku ingin engkau mengenalku seperti engkau mengenal seluruh isi dapurmu. -aku dengar engkau suka memasak, aku yakin engkau cukup peduli dengan dapurmu.
Iya ibu, aku ingin engkau mengenalku, agar aku tak salah ketika harus menghadapimu.

Ibu, kita adalah dua perempuan dari generasi yang berbeda, juga dari rumah yang berbeda. Tapi ada satu hal yang membawa kita bertemu dan menjadi memiliki satu kesamaan. Kita mencintai pria yang sama - pria yang engkau lahirkan kedunia ini, pria yang engkau besarkan dengan cinta, pria yang engkau jaga agar menjadi orang yang tangguh dan bertanggung jawab. Diantara kita, engkau mengenalnya jauh lebih lama dariku.
Aku bukan ingin membandingkan kita sebagai perempuan yang mengenalnya. Bagiku pria tersebut adalah pria yang spesial - pria yang kelak menjadi bagian hidupku, pria yang kelak menjadi orang yang mengenalku dalam buruk maupun baikku. Percayalah ibu, mungkin aku bukanlah dirimu, cintamu tidak akan tergantikan dengan hadirku. Jangan bandingkan diriku dengan dirimu, aku tau engkau ingin yang terbaik untuk priamu. Tapi percayalah ibu, aku akan membahagiakannya dengan cara ku, aku akan mendukungnya dengan cara ku, aku akan mencintainya dengan cara ku. Biarkanlah ibu, biarkan kami berkembang menjadi insan yang selayaknya kami, dengan cara kami. Engkau mengerti bahwa kami anugerah Yang Kuasa kepadamu untuk dijaga. Biarkanlah ibu, biarkan Yang Kuasa menuntun kami pada jalanNya, pada takdir kami.
Bukan kami ingin membangkang, bukan kami ingin durhaka. Doakanlah ibu, doakanlah kami agar kami selalu menempuh kebenaran, doakanlah kami agar kami selalu dinaungi kekuatan dari doamu.
Engkau mengenalnya sejak kecil, namun aku akan mengenalnya di masa depan.

Aku mendengarkanmu selalu ketika engkau bercerita tentang pria itu di masa kecil, seolah ketika usai kudengar aku ingin kembali ke masa pria itu kecil. Aku tau terkadang engkau juga berusaha agar ketika aku mendengar cerita tersebut aku semakin kagum dengan pria itu. Tapi ibu, tanpa engkau ceritakan berlebih aku menerima pria itu, pria yang aku kenal pada masa ini dan akan aku kenal pria itu di masa tuanya.
Aku sendiri memang tidak dapat menutupi terkadang mungkin keraguan terhadap pria itu muncul. Tapi ibu, percayalah aku tetap berada di sisinya, bahkan ketika salah sekalipun aku siap ada di sisinya untuk membantunya benar kembali.

Ibu, pernah engkau membayangkan seperti apakah sebuah kisah cinta itu sebenarnya? Seperti kisah ramayana kah? Seperti romeo juliet kah? Aku merasa setiap individu berhak membangun ceritanya masing-masing ibu. Seperti ibu yang membangun cerita pada kehidupan 30 tahun yang lalu, maka kami pun akan membuat kisah kami pada kehidupan 30 tahun yang mendatang.

Rabu, 28 Januari 2015
semoga ibu sehat selalu.
salam hangat

anak(mu)



"Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di websitehttp://nulisbarengibu.com”