Surat
Untuk Ibu(ku)
Kepadamu yang kelak
(mungkin tiga hingga lima tahun lagi ) sah sebagai ibuku-juga, meskipun begitu
saat ini aku telah memanggilmu ibu.
Wahai ibu, aku tidak berharap surat ini sampai ketanganmu, namun jika
akhirnya angin membawa surat ini terdengar olehmu, aku hanya sekedar ingin engkau
tau apa yang aku rasakan dan fikirkan mengenai kita.
Aku
ingat sedari kecil ayahku sering berkata saat aku akan mengunyah sayap ayam
goreng, "Itu ujung sayapnya jangan dimakan,pamali nanti". Awalnya aku
menurut,namun jiwa kritisku tak mau diam saja dan akhirnya aku menanyakan jawaban
masuk akal atas ulasannya. Ayahku menjawab "Nanti kamu engga disukain
mertua", saat itu aku hanya tertawa dan merasa pernyataan yang konyol. Sebagai
seorang anak kecil aku hanya berkata bahwa aku tidak akan mau punya mertua-ya
meskipun aku sendiri tidak tau apa itu yang disebut mertua.
Ya
ibu, dulu aku tertawa dan merasa mungkin benar yang dikatakan ayahku bahwa
mertua tidak akan suka jika kamu makan ujung sayap ayam, sekarang aku memang
tetap tidak memakan ujung sayap ayam, tapi bukan karena aku takut tidak disukai
mertua.
Ibuku
juga pernah sekali mengkhawatirkan mengenai istilah mertua itu, katanya suatu
hari usai bertemu tetangga, “Kemarin aku bertemu tetangga belakang rumah, dia
cerita soal ketidak sukaannya terhadap pacar anaknya, yang kurang inilah, yang
engga gitulah, pusing ibu dengernya, semoga aja ya kamu engga punya mertua yang
repot dan cerewet”. Saat itu juga aku hanya tertawa, merasa itu hanya kekhawatiran
yang konyol. Tapi sejujurnya jika aku ingat ungkapan ibuku itu, aku selalu
berharap doanya terkabul- ya, aku sedikit takut jadinya.
Tidak
ibu, bukan aku takut padamu, tapi aku masih merasa tidak nyaman dan canggung
dengan istilah mertua. Seolah terlalu banyak ke-negatif-an didalamnya. Aku
sempat memiliki khayalan, jika kelak aku punya suami, tidak akan ku panggil
orangtuanya sebagai mertua, biarlah aku diangkat pula sebagai anaknya.
Tapi
ibu, sesungguhnya yang ingin ku bicarakan bukanlah mengenai istilah mertua. aku
hanya ingin kau sedikit mengetahui sejengkal kisah hidupku. bukan ingin pamer,
tapi aku ingin engkau mengenalku seperti engkau mengenal seluruh isi dapurmu.
-aku dengar engkau suka memasak, aku yakin engkau cukup peduli dengan dapurmu.
Iya
ibu, aku ingin engkau mengenalku, agar aku tak salah ketika harus menghadapimu.
Ibu,
kita adalah dua perempuan dari generasi yang berbeda, juga dari rumah yang
berbeda. Tapi ada satu hal yang membawa kita bertemu dan menjadi memiliki satu
kesamaan. Kita mencintai pria yang sama - pria yang engkau lahirkan kedunia
ini, pria yang engkau besarkan dengan cinta, pria yang engkau jaga agar menjadi
orang yang tangguh dan bertanggung jawab. Diantara kita, engkau mengenalnya
jauh lebih lama dariku.
Aku
bukan ingin membandingkan kita sebagai perempuan yang mengenalnya. Bagiku pria
tersebut adalah pria yang spesial - pria yang kelak menjadi bagian hidupku,
pria yang kelak menjadi orang yang mengenalku dalam buruk maupun baikku. Percayalah
ibu, mungkin aku bukanlah dirimu, cintamu tidak akan tergantikan dengan
hadirku. Jangan bandingkan diriku dengan dirimu, aku tau engkau ingin yang
terbaik untuk priamu. Tapi percayalah ibu, aku akan membahagiakannya dengan
cara ku, aku akan mendukungnya dengan cara ku, aku akan mencintainya dengan
cara ku. Biarkanlah ibu, biarkan kami berkembang menjadi insan yang selayaknya
kami, dengan cara kami. Engkau mengerti bahwa kami anugerah Yang Kuasa kepadamu
untuk dijaga. Biarkanlah ibu, biarkan Yang Kuasa menuntun kami pada jalanNya,
pada takdir kami.
Bukan
kami ingin membangkang, bukan kami ingin durhaka. Doakanlah ibu, doakanlah kami
agar kami selalu menempuh kebenaran, doakanlah kami agar kami selalu dinaungi
kekuatan dari doamu.
Engkau
mengenalnya sejak kecil, namun aku akan mengenalnya di masa depan.
Aku
mendengarkanmu selalu ketika engkau bercerita tentang pria itu di masa kecil,
seolah ketika usai kudengar aku ingin kembali ke masa pria itu kecil. Aku tau
terkadang engkau juga berusaha agar ketika aku mendengar cerita tersebut aku
semakin kagum dengan pria itu. Tapi ibu, tanpa engkau ceritakan berlebih aku
menerima pria itu, pria yang aku kenal pada masa ini dan akan aku kenal pria
itu di masa tuanya.
Aku
sendiri memang tidak dapat menutupi terkadang mungkin keraguan terhadap pria
itu muncul. Tapi ibu, percayalah aku tetap berada di sisinya, bahkan ketika
salah sekalipun aku siap ada di sisinya untuk membantunya benar kembali.
Ibu,
pernah engkau membayangkan seperti apakah sebuah kisah cinta itu sebenarnya? Seperti
kisah ramayana kah? Seperti romeo juliet kah? Aku merasa setiap individu berhak
membangun ceritanya masing-masing ibu. Seperti ibu yang membangun cerita pada
kehidupan 30 tahun yang lalu, maka kami pun akan membuat kisah kami pada
kehidupan 30 tahun yang mendatang.
Rabu, 28 Januari 2015
semoga
ibu sehat selalu.
salam
hangat
anak(mu)
"Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di websitehttp://nulisbarengibu.com”